• Jazzay: Ulayatisasi Jazz (7) ~ Pesan

    Oleh: Tofan Rachmat Zaky

    Dalam musik bisa didapat sebuah pesan, dengan bahasa yang tak standar. Kenikmatannya bisa massal, namun dengan makna yang eksklusif, ter-alienasi. Begitu juga dengan jazz, apa pun definisinya, visi dan misinya, bahkan dalam masa keemasan yang pop, ia masih berjarak dengan massanya, ada pesan pembebasan yang kurang menjangkau kuantitas secara global, tersekat dalam perjuangan, terhambat karena lawan-lawas, bahkan terbelenggu dalam konstruksi yang terbangun oleh penerima pesan sekunder…

    ***

    Wacana diskusi di Bandung kali ini bersama Layar Kita dan Klab Jazz menampilkan film Ken Burns (Jazz, 2001), memaparkan satu bentukan naratif perkembangan musik jazz yang berhasil dikelola baik (dan manis) melalui fenomena yang disebut ‘di luar kotak’. Menyoroti Duke ellington dan Louis Armstrong sebagai yang-bukan tokoh pemikir, apalagi pergerakan, tetapi tindakan-tindakan alamiahnya berdasarkan makna survivalitas kaum hitam di Amerika, juga secara berlawanan memaknakan diri sebagai bangsa dunia tanpa sekat. Di wacana itu juga terlihat perkembangan musik jazz yang menampakkan satu perjuangan sopan dan baik, bahkan cenderung tak menggurui atau melawan. Mereka hanya membahasakan apa yang seharusnya budaya berperilaku dan berkembang untuk kebaikan umat manusia.

    Bahasa Louis Armstrong adalah improvisasinya terhadap tradisi jazz dengan mencampur unsur vokal. Mungkin baginya instrumen musik memiliki bahasa tersendiri, namun manusia bisa saja berduet bersamanya, dalam rangka melepasi batasan ‘alienasi’ antara produk instrumen musik dan manusia sebagai pendengar dan penikmat. Duke Ellington pula memiliki definisi yang lebih jelas, bahasa musik menurutnya adalah ‘makna-makna’ yang berfungsi menghancurkan batasan penghalang supaya seluruh masyarakat menyatu. Ellington menafsirkan musik jazz tercipta untuk para dilettante’s, pribadi-pribadi pengagum seni namun tak berkemampuan (dari aspek keilmuan, bersifat awam dan tak terikat komitmen) dalam dunia seni, ditujukan kepada masyarakat plateau pada umumnya. Di sini ‘bahasa’ mereka tetap saja hanya medium pengantar pesan. Karena hal yang dituju bukanlah sinkretisme jazz, apalagi mengkultuskan ketokohannya, ditambah ada niat untuk absolutisme ‘bahasa’ itu sendiri sebagai ayat yang final. Ya, pengembangan tanpa henti, improvisasi sebagai kunci dinamika yang mereka sampaikan kepada masyarakat dunia.
    Dan melalui bahasa tersebut, sampailah kepada kita sebagai bangsa nusantara yang ikut serta menerima dan mengembangkan jazz. perkembangan jazz di Indonesia memiliki percaturan yang tidak mudah. Budaya paman Sam ini diadopsi sebagai musik pembebasan. Musik yang dianggap ‘lain’ daripada musik penjajah Eropa, pertautan budaya kolonial yang telah bercokol lebih dari 500 tahun sejak kedatangan Portugis. Namun seakan inisiasi kemasukannya jazz segera ‘ditunggangi’ oleh sekelompok elitis lama, dengan tradisi kolonialisme, sehingga keterjangkauan visi-misi jazz tak tersampaikan? Atau ini rupanya akal-akalan jitu para musisi pribumi memasukkan jazz melalui keterbatasan fasilitas (cafe’ dan hotel) yang ada?
    Bisa saja ada oknum yang ‘jahil’, yang merasa punya hak mewakilkan masuknya budaya barat ini. Melalui serah terima negara dari tangan si bangsa penjajah, mereka tetap berupaya menjaga tradisi (bahasa) persembahan musik jazz sebagai (sekedar) musik pengiring aktivitas sosialita. Padahal sampai pada era keemasannya (pop), jazz telah ditafsirkan sebagai lambang demokrasi, pengembangan dari musik pembebasan ke arah yang lebih universal, menjadi milik siapa pun. Ini yang terlihat jelas adanya kerusakan akibat dari tangan-tangan jahil tersebut. Kerusakan yang diistilahkan oleh Franz Fanon sebagai kerusakan pasca kolonialisme, kerusakan kepada tata moral, politik dan psikologi. Dan parahnya akibat kerusakan itu, diperlihatkan bahwa Jazz di Indonesia kembali “diperkuat” melalui kegiatan festival musik yang bernuansa lebih fame dan money oriented, jazz yang gaul dan hanya bisa dinikmati oleh segolongan yang mampu membeli tiket festival. Lebih dari padanya, tangan jahil tersebut mengenyahkan falsafah jazz di awal berdiri hingga sekarang, yaitu pembebasan dan demokrasi bagi golongan ‘bawah’. Lalu atas tujuan universalisme semu, ia mengenalkan jazz melalui bahasa jazz ala Indonesia kepada dunia. Sekali lagi, ini jebakan arsitektur budaya dalam pemahaman nasionalisme dangkal,…
    Melalui persembahan musik simak Riza Arshad, proyek khusus Klab Jazz dan Layar Kita dalam upaya memasyarakatkan karya-karya almarhum Riza Arshad (1962-2017). Kali ini wacana yang terbangun antara komunitas-komunitas tersebut menampakkan satu pesan yang lebih kuat, dengan segala keterbatasan wacananya maka komunitas tersebut menerjemahkan bahasa yang lebih jelas, lebih dari bahasa musik, mengenai visi-misi seorang Ija ~panggilan ramah untuk almarhum Sjahriza Arshad~. Tidak ada maksud mengkultuskan pribadinya, karena bagi para sahabat komunitas, sosok Ija tidak ditempatkan sebagai inisiator (memulai) atau sang pelaku finalisasi. Karena ia ditempatkan sebagai sosok teman bicara yang ‘biasa’ saja, seorang teman yang ikut menyampaikan pesan jazz dari pendahulunya kepada pembarunya. Melalui obrolan ringkas bersama teman muda Ija yaitu Arnando (Nando) Putra, terlihat penekanan yang selama ini terkumpul dari sahabat-sahabat lainnya juga, penekanan pesan Ija tentang makna pengembangan kualitas musik dan karya, sifat egalitarian, tanpa menonjol sebagai pribadi yang menjadi superior atau inferior. Hidup dengan apa adanya. Ia tidak memaksakan melalui karya dan bahasa verbal atau bahasa artistik ala seniman semata. Karena dengan sabar, dan lebih dari 20 tahun ia berkarya serta masuk dalam pergaulan dan ‘bahasa’ teman-temannya yang lebih muda. Melalui rangkaian hubungan komunitas, lalu penegasannya tentang falsafah jazz ia tunjukan dengan cara kerja keras, tata-laku yang sewajarnya. Alhasil, pesan-kesan jazz melalui bahasa ‘Ija’ lebih mudah diterima ramah oleh banyak orang, walau karyanya sulit dicerna. Wasalam,…
    Bekasi 14.4.2017 -untuk para penerima pesan alm. Riza (Ija) Arshad-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Arsip Klab Jazz